Pemerintah pusat terus memotivasi dan mendorong pemerintah daerah bisa mandiri secara keuangan. Penggunaan APBD lebih fokus pada belanja
modal yang mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi dan memberikan multiplier effect
di daerah.
Pemerintah
terus mendorong pemerintah daerah untuk membelanjakan anggarannya pada sektor
yang mampu memberikan multiplier effect di daerah. Juga mengharapkan daerah
mampu mengelola dana transfer dengan benar, memobilisasi sumber-sumbr
pendapatan di daerah, baik melalui pajak dan restribusi, juga optimalisasi
kekayaan daerah yang mampu menyumbang pendapatan asli daerah.
Terlihat,
tahun 2017, ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat masih cukup
tinggi. Hasil evaluasi pemerintah pusat menunjukan rata-rata provinsi sekitar
46,6 % APBD masih bergantung dana transfer pemerintah pusat.
Aktivitas Pasar di Indonesia |
Dari
sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD), provinsi hanya mampu menyumbang pada kisaran
37,7 % dari total anggarannya. Sedangkan untuk kabupaten dan kota hanya mampu
menyumbang 6,6 % dari total anggarannya. Tahun 2017, terlihat terjadi
ketimpangan, dari sisi penerimaan masih tergantung dana transfer dari pusat.
Melihat
peta yang ada, perjalanan tahun 2018 ini masih diwarnai masih adanya
ketimpangan. Laporan kinerja APBN awal 2018, menyebutkan jika daerah mampu meningkatan
pendanaan APBD, yang ditopang dari PAD, jelas mampu mengurangi ketergantungan
dana transfer dari APBN.
Sebagai
gambaran, data perda APBD, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam
Negeri, 2018 menunjukan APBD provinsi, kabupaten, kota secara keseluruhan masih
mengalami defisit sebesar Rp 59,16 triliun. Total belanja mencapai Rp 1.154,13
triliun, sedangkan total pendapatan hanya tercapai Rp 1.094,97 triliun.
Sedangkan,
proporsi PAD terhadap total pendapatan untuk provinsi se-Indonesia, rata-rata
mencapai 35.19 %. Ini menunjukan penurunan jika di banding tahun lalu. Tren
kelompk pendapatan APBD provinsi, kabupaten dan kota menunjukan, untuk provinsi
dana perimbangan mencapai Rp 666.69 T, sedangkan total PAD hanya mencapai
269.86 T dan terjadi penurunan pendapatan lain-lain yang hanya mencapai 158.42
T.
Perinciannya
untuk provinsi dana perimbangan mencapai Rp 156.41 T, PAD Rp 151.70 T sedangkan
pendapatan lain Rp 23.32 T. Untuk kabupaten dan kota dana perimbangan mncapai
Rp 510.28 T, PAD mencapai Rp 118.16 T dan pendapatan lain Rp 135.10 T.
Untuk
itu, Kementerian Dalam Negeri terus berupaya memotivasi daerah agar lebih
mengarakan APBD nya untuk belanja modal, agar terjadi multiplier effect di
daerah. Juga daerah dituntut mampu meningkatkan pendapatan, baik melalui
optimalisasi pajak dan restribusi, pinjaman daerah dan penerbitan obligasi,
optimalisasi kekayaan daerah, maupun optimalisasi dan pemanfaatan kekayaan
daerah dengan pihak ketiga.
Daerah
juga dituntut mampu mengembakan perekonomian daerah dan Usaha Menengah Kecil
dan Mikro (UMKM). Dengan begitu daerah memiliki daya tahan yang memadai.
Pengelolaan tata pemerintahan dan usaha lebih efektif, efisien, dan ekonomis
fokus pada pertumbuhan. Juga memiliki daya saing, dibarengin dengan tata kelola
yang baik dan didukung manajemen risiko yang memadai.
Potensi-potensi
yang bisa dikembangkan daerah, di sektor pajak dan restribusi, untuk provinsi
terdapat 5 jenis pajak mulai dari PKB, BBNKB, PBBKB, pajak Air permukaan, pajak
rokok. Sedangkan untuk, Kabuaten dan Kota terdapat 11 jenis pajak, mulai pajak
hotel, restoran, hiburan, reklame, PPJ, mineral buan logam dan batuan, parkir,
air tanah, sarang burung walet PBB-P2, dan PBHTB. Untuk retribusi jasa umum
terdapat 15 jenis, restribusi jasa usaha 12 jenis, restribusi perijinan 6
jenis.
Pemerintah
daerah, menurut Kemendagri harus menerapkan strategi untuk mengurangi
ketergantung pada dana tranfer pusat ke daerah, dalam bentuk dana perimbangan.
Untuk itu, daerah bisa melakukan optimalisasi dan intensifikasi pajak dan
restribusi daerah. Ini untuk membuat daerah mampu mengarah pada kemandirian
keuangan.
Dengan
mengoptimalkan potensi pendapatan membuat daerah secara keuangan menjadi
bankabel. Dimana daerah, jika terjadi kekurangan pendanaan bisa mengakses pinjaman
daerah, juga mengeluarkan obligasi daerah (municipal bond).
Selain
itu, Kemendagri juga mendorong daerah untuk mengotimalkan kekayaan yang
dimiliki daerah, yang di pisahkan melalui penyertaan modal dan investasi pada
BUMD. Jenis usaha yag profit yang bisa dikelola pemda seperi bank (BPD, BPR
Pemda), non bank yang mencakup UMKM, BKK, dana bergulir, aneka usaha baik
tambang, perkebunan, migas, koperasi dan lainnya.
Sedangkan
otimalkan kekayaan yang dikuasai atau tidak dipisahan, bisa dilakukan melalui
skema kerjasama pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Ini untuk mendapatan
sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah (BGS) dan bangun
serah guna (BSG), sampai kerjasama infrastruktur yang dibutuhkan daerah
tersebut.
Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) saat ini jumlahnya sudah mencapai 1.096 BUMD. Dari
jumlah itu ada 26 atau 2,37 % Bank Pembangunan Daerah yang tersebar pada 3.503
jaringan kantor, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai 260 atau 23,72 %, PDAM
mencapai 386 atau 35,22 %, dan Perusahaan Dagang lainnya mencapai 424 atau
38,69 %.
Dari
jumlah BUMD yang dimiliki daerah, kontribusi pendapatan yang paling besar di
sumbang dari BPD yang mencapai 92,73 %, BPR 2,95 %, PDAM 0,01 %, dan PD lainnya
4,32 %.
Regulasi
untuk mengoptimalkan BUMD, diatur PP No. 54 tahun 2017 dan Permendagri No. 37
Tahun 2017. Dimana tujuan pendirian BUMD untuk memberikan manfaat bagi
perekonomian daerah juga menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memperoleh laba
dan keuntungan. Penyertaan modal pemerintah daerah daerah di BUMD diatur secara
ketat. BUMD ini di bina dan diawasi Menteri Dalam Negeri juga kementerian dan
lembaga terkait.
Ini
semua untuk membuat daerah mandiri dan mampu mengurangi ketergantungan fiskal pada dana transfer dari pusat. Meski praktiknya masih
banyak daerah yang bergantung, lambat dan pasti ketergantungan itu diharapkan
dapat dikurangi. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar