Utama

Kamis, 09 Agustus 2018

Menggali Potensi Kekayaan Daerah



Pemerintah pusat terus memotivasi dan mendorong pemerintah daerah bisa mandiri secara keuangan. Penggunaan APBD lebih fokus pada belanja modal yang mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi dan memberikan multiplier effect di daerah.

Pemerintah terus mendorong pemerintah daerah untuk membelanjakan anggarannya pada sektor yang mampu memberikan multiplier effect di daerah. Juga mengharapkan daerah mampu mengelola dana transfer dengan benar, memobilisasi sumber-sumbr pendapatan di daerah, baik melalui pajak dan restribusi, juga optimalisasi kekayaan daerah yang mampu menyumbang pendapatan asli daerah.
Terlihat, tahun 2017, ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat masih cukup tinggi. Hasil evaluasi pemerintah pusat menunjukan rata-rata provinsi sekitar 46,6 % APBD masih bergantung dana transfer pemerintah pusat.
Aktivitas  Pasar di Indonesia 
Sedangkan, APBD kabupaten dan kota lebih besar mencapai 66,4 %. Porsi belanja di daerah disinyalir terdapat sejumlah masalah, dimana alokasi belanja untuk pegawai lebih tinggi jika dibandingkan belanja modal.
Dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD), provinsi hanya mampu menyumbang pada kisaran 37,7 % dari total anggarannya. Sedangkan untuk kabupaten dan kota hanya mampu menyumbang 6,6 % dari total anggarannya. Tahun 2017, terlihat terjadi ketimpangan, dari sisi penerimaan masih tergantung dana transfer dari pusat.
Melihat peta yang ada, perjalanan tahun 2018 ini masih diwarnai masih adanya ketimpangan. Laporan kinerja APBN awal 2018, menyebutkan jika daerah mampu meningkatan pendanaan APBD, yang ditopang dari PAD, jelas mampu mengurangi ketergantungan dana transfer dari APBN.
Sebagai gambaran, data perda APBD, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, 2018 menunjukan APBD provinsi, kabupaten, kota secara keseluruhan masih mengalami defisit sebesar Rp 59,16 triliun. Total belanja mencapai Rp 1.154,13 triliun, sedangkan total pendapatan hanya tercapai Rp 1.094,97 triliun.
Sedangkan, proporsi PAD terhadap total pendapatan untuk provinsi se-Indonesia, rata-rata mencapai 35.19 %. Ini menunjukan penurunan jika di banding tahun lalu. Tren kelompk pendapatan APBD provinsi, kabupaten dan kota menunjukan, untuk provinsi dana perimbangan mencapai Rp 666.69 T, sedangkan total PAD hanya mencapai 269.86 T dan terjadi penurunan pendapatan lain-lain yang hanya mencapai 158.42 T.
Perinciannya untuk provinsi dana perimbangan mencapai Rp 156.41 T, PAD Rp 151.70 T sedangkan pendapatan lain Rp 23.32 T. Untuk kabupaten dan kota dana perimbangan mncapai Rp 510.28 T, PAD mencapai Rp 118.16 T dan pendapatan lain Rp 135.10 T.
Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri terus berupaya memotivasi daerah agar lebih mengarakan APBD nya untuk belanja modal, agar terjadi multiplier effect di daerah. Juga daerah dituntut mampu meningkatkan pendapatan, baik melalui optimalisasi pajak dan restribusi, pinjaman daerah dan penerbitan obligasi, optimalisasi kekayaan daerah, maupun optimalisasi dan pemanfaatan kekayaan daerah dengan pihak ketiga.
Daerah juga dituntut mampu mengembakan perekonomian daerah dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Dengan begitu daerah memiliki daya tahan yang memadai. Pengelolaan tata pemerintahan dan usaha lebih efektif, efisien, dan ekonomis fokus pada pertumbuhan. Juga memiliki daya saing, dibarengin dengan tata kelola yang baik dan didukung manajemen risiko yang memadai.
Potensi-potensi yang bisa dikembangkan daerah, di sektor pajak dan restribusi, untuk provinsi terdapat 5 jenis pajak mulai dari PKB, BBNKB, PBBKB, pajak Air permukaan, pajak rokok. Sedangkan untuk, Kabuaten dan Kota terdapat 11 jenis pajak, mulai pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, PPJ, mineral buan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung walet PBB-P2, dan PBHTB. Untuk retribusi jasa umum terdapat 15 jenis, restribusi jasa usaha 12 jenis, restribusi perijinan 6 jenis.
Pemerintah daerah, menurut Kemendagri harus menerapkan strategi untuk mengurangi ketergantung pada dana tranfer pusat ke daerah, dalam bentuk dana perimbangan. Untuk itu, daerah bisa melakukan optimalisasi dan intensifikasi pajak dan restribusi daerah. Ini untuk membuat daerah mampu mengarah pada kemandirian keuangan.
Dengan mengoptimalkan potensi pendapatan membuat daerah secara keuangan menjadi bankabel. Dimana daerah, jika terjadi kekurangan pendanaan bisa mengakses pinjaman daerah, juga mengeluarkan obligasi daerah (municipal bond).
Selain itu, Kemendagri juga mendorong daerah untuk mengotimalkan kekayaan yang dimiliki daerah, yang di pisahkan melalui penyertaan modal dan investasi pada BUMD. Jenis usaha yag profit yang bisa dikelola pemda seperi bank (BPD, BPR Pemda), non bank yang mencakup UMKM, BKK, dana bergulir, aneka usaha baik tambang, perkebunan, migas, koperasi dan lainnya.
Sedangkan otimalkan kekayaan yang dikuasai atau tidak dipisahan, bisa dilakukan melalui skema kerjasama pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Ini untuk mendapatan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah (BGS) dan bangun serah guna (BSG), sampai kerjasama infrastruktur yang dibutuhkan daerah tersebut.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) saat ini jumlahnya sudah mencapai 1.096 BUMD. Dari jumlah itu ada 26 atau 2,37 % Bank Pembangunan Daerah yang tersebar pada 3.503 jaringan kantor, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai 260 atau 23,72 %, PDAM mencapai 386 atau 35,22 %, dan Perusahaan Dagang lainnya mencapai 424 atau 38,69 %.
Dari jumlah BUMD yang dimiliki daerah, kontribusi pendapatan yang paling besar di sumbang dari BPD yang mencapai 92,73 %, BPR 2,95 %, PDAM 0,01 %, dan PD lainnya 4,32 %.
Regulasi untuk mengoptimalkan BUMD, diatur PP No. 54 tahun 2017 dan Permendagri No. 37 Tahun 2017. Dimana tujuan pendirian BUMD untuk memberikan manfaat bagi perekonomian daerah juga menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memperoleh laba dan keuntungan. Penyertaan modal pemerintah daerah daerah di BUMD diatur secara ketat. BUMD ini di bina dan diawasi Menteri Dalam Negeri juga kementerian dan lembaga terkait.
Ini semua untuk membuat daerah mandiri dan mampu mengurangi ketergantungan fiskal pada dana transfer dari pusat. Meski praktiknya masih banyak daerah yang bergantung, lambat dan pasti ketergantungan itu diharapkan dapat dikurangi. (***)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar