Utama

Kamis, 23 Agustus 2018

Depok, Riwayatmu Dulu


Sejarah Depok cukup unik, namanya berasal dari unsur Bahasa Jawa, Deprok lalu berubah menjadi Depok. Oleh Belanda di jadikan Kawasan perkebunan dan pertanian, hasil komoditas diekspor ke Eropa.

 Cerita yang diunggah di id.wikipedia.org menguraikan bahwa Depok berasal dari kata Deprok (duduk dengan menyilangan kaki searah). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata Deprok sendiri adalah duduk di lantai dengan kedua kaki terlipat ke satu sisi. Deprok berasal dari Bahasa Jawa maknanya lungguh bersimpuh (duduk dengan menyilangkan kaki searah). 
SUHARTO, SE., MM
CALEG DPRD, KOTA DEPOK, DAPIL 2 (BEJI, CINERE, LIMO)
PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA (PSI)

Konon, jaman Kerajaan Padjajaran, saat Prabu Siliwangi melakukan perjalanan keluar kerajaan, kerap singgah di wilayah dekat kali Ciliwung (saat ini Beji). Wilayah itu alamnya indah nan asri, membuat Prabu betah berlama-lama, sambil Deprok yang tak jauh dari kali Ciliwung. Kali Ciliwung kala itu menjadi, jalur transportasi utama Kerajaan Padjajaran. Untuk menandai wilayah itu, baik punggawa kerajaaan dan pengikutnya menyebut daerah itu dengan sebutan daerah Deprok. Lama kelamaan berubah menjadi Depok. 
            Hal ini diperkuat dengan laporan ekspedisi, Abraham Van Riebeek (1730), yang menguraikan kata Depok bukan berasal dari bahasa asing namun berasal dari bahasa Jawa yang menyebutkan Deprok berarti duduk.
            Versi lain menyebutkan, saat Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten bersama Pangeran Purba hendak menuju Cirebon, milintasi Kawasan Deprok. Namun pengikutnya, Raden Wujud tidak ikut mengiringin rombongan Sultan menuju Cirebon, namun memilih menetap di Deprok. Raden Wujud menetap dan mendirikan Padepokan, tempat melatih ilmu kanuragan dan mengajarkan islam. 
            Daerah yang didirikan Padepokan oleh Raden Wujud, tidak jauh dari Kali Ciliwung. Sebelumnya hutan dan persawahan, namun saat musim kemarau ketersediaan air didaerah itu menjadi masalah. Raden Wujud pun melakukan meditasi, untuk menyelaraskan alam itu dengan kehendak Tuhan. 
            Kesulitan yang dihadapi Raden Wujud pun diberikan jawaban melalui 7 mata air yang berada di sekitarya. Tujuh mata air itu, biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan 7 sumur keramat, cikal bakal perkembangan masyarakat Depok, (sekarang 7 sumur keramat di Beji).
             Seperti diceritakan, Satiri keturunan ke 3 sesepuh Beji, Engkong Si’in, yang dimuat di Detik.com. Permohonan Embah Raden Wujud, begitu Satiri bercerita doa Embah Raden Wujud Beji dikabulkan pemilih alam dengan munculnya tujuh mata air besar di wilayah Beji. 
Dengan adanya sumber mata air besar (tujuh sumur), Padepokan yang dibangun Embah Raden Wujud berkembang menjadi hunian perkampungan. Sumur ini bukan lubang besar di bawah permukaan tanah, tetapi sumur berbentuk persegi Panjang yang airnya jernih.
Raden Wujud yang masih menjadi kerabat Kerajaan Banten, masih menjalin hubungan baik. Kadang saling mengunjungi, bahan erabat dari Banten menyebut kerabatnya yang tinggal di bilangan Kali Ciliwung ini menyebutnya dengan Padepokan atau Depok. Itulah asal muasal penyebutkan daeah ini disebut Depok.
Satiri, melanjutkan, bukti keberadaan Embah Raden Wujud itu ada dengan menunjukan enam sumur keramat dan sebuah makam keramat, beserta bangunan yang dulunya berfungsi sebagai padepokan. 
Sebagai bukti sejarah menyebutkan nama Depok sudah tercatat pada naskah Belanda yang menyebutkan Cornelis Chastelein membeli tanah di Depok dari seorang Residen di Cirebon yang bernama Lucas Meur (18 Mei 1696). Dari situ, nama Depok terccatat kembali dalam ekspedisi Inspektur Jenderal VOC, Abraham Van Riebeeck (antara 1704-1709), survei ini dilakukan di wilayah pedalaman sungai Ciliwung.

Depok Wilayah Pertanian dan Perkebunan
Cornelis Chastelein merupakan orang Eropa pertama yang membuka usaha pertanian di Depok. Kala itu komoditas ekpor VOC dari Hindia Timur masih tergolong kuno seperti benzoin, kamper, pala, lada, puli dan gambir. Semua itu masuk produk hutan yang dibawa dari Maluku, Barus dan lainnya. 
Surat kabar Counrante Uyt Italien Duytslandt, & c edisi 31 Juli 1627, seperti diunggah poestahadepok.blogspot.com mencerikana Kapal kargo dari Batavia pada Desember 1626 telah tiba di Texel, 24 Juli 1627’. Informasi ini memperkuat adanya perjalanan kapal cargo yang memuat komoditas yang dibawa dari Batavia tiba di texel butuh waktu 7 bulan perjalanan. Begitu berita itu beredar di eropa, banyak kapal cargo mulai melirik angkutan komoditas dari batavis, merek mengambil rute dari Oost Indisch.
            Surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633, juga memberitakan kedatangan kapal cargo lebih rinci. Seperti kapal Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah komandan Jenderal Specx. Muatan kapal berisi 36 jenis komoditas yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Yang terdiri dari Komoditi lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan permata.
Dari waktu ke waktu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, frekuensi kapal kargo dari Batavia ke Eropa semakin tinggi. Jumlah kapal juga semakin banyak, jenis komoditas semakin banyak dan volume masing-masing komoditas semakin besar, dan kapal-kapal tersebut dicarter oleh Nederlantfe Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) seperti dilaporkan surat kabar Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648. 
Perdagangan komoditi-komoditi kuno itu berlangsung sekitar dua abad sejak ekspedisi Cornelis de Houtman tiba di Soenda Kalapa dan VOC mendirikan koloni di Batavia tahun 1619 hingga dimulai komoditi modern yang dibudidayakan di Batavia dan sekitarnya pada akhir abad ke-17. Yang dimaksud komoditi modern seperti gula (suiker) dan mulailah dibudidayakan perkebunan tebu, yang diusahakan para investor VOC dengan mendatangkan kuli dari Tiongkok. Industri gula ini dengan cepat merangsek hingga ke hulu sungai Tjiliwong termasuk bidang usaha yang dilakukan oleh Cornelis Chastelein di Depok.
Sejak itu Depok menjadi wilayah pertanian, yang berada di Pondok Tjina, Sawangan, Tjinere, Tapos, Tjimanggies dan Tjitajam. Jaman itu, Belanda mampu membangun onderneming (pertanian), rata-rata ditanami karet, hanya land sawangan ditanami karet dan padi. Dari lahan karet yang ada hanya Onderneming Tjinere mampu menghasil produksi terbesar sebanyak 8 ton per bulan. Meski begitu, dalam peta sejarah Depok penghasil karet yang masih bertahan hingga tahun 1970.  Sepuluh tahun kemudian sisa-sisa perkebunan tanaman keras seperti karet masih ditemukan cukup luas di Depok dan sekitar, seperti di Pondok Tjina (lahan UI yang sekarang), Sawangan, Tjitajam, Tjinere, Tjilodong, Tapos, Bodjong Gede, Kaoem Pandak dan Tjimanggis. 
Lambat nan pasti perkebunan karet yang ada, menghilang seiring Depok menjadi Hunian yang menyejukan di banding di Jakarta. Namun kondisi Depok 10 tahun sebelumnya masih terasa dingin, kini tak ubahnya seperti Jakarta. Mampukah Depok menghadapi perubahan iklim, dan menjadi sejuk kembali. (Salam Solidaritas)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar