Pendidikan
di Indonesia tidak mengajarkan bagaimana menjalankan bisnis sendiri. Tetapi mengajarkan
bagaimana menjalankan bisnis orang lain. Anda mempelajari akuntansi, audit,
hukum, dan lainnya diarahkan untuk menghitung uang orang lain, mengaudit,
membela hukum bisnis orang lain.
Polulasi
dunia kian meningkat, tahun 1999 mencapai 6 miliar, dan tahun 2020 diperkirakan
tembus angka 8 miliar. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia menurut proyeksi
Bappenas, Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Population Fund (UNFPA),
mencapai 271 juta jiwa tahun 2020. Pulau jawa masih mendominasi populasi di
Indonesia. Mencapai 152,45 juta jiwa atau 56 % dari total penduduk Indonesia.
SUHARTO, SE., MM. saat mengikuti Raker APEKSI di Kota Tarakan, Kaltara.
|
Peningkatan
jumlah penduduk tersebut sedianya dibarengi ketersediaan lapangan kerja baru.
Namun yang terjadi justru banyak terjadi privatisasi, merger dan akuisi
perusahaan yang berdampak pada PHK masal. Penciptaan perusahaan baru, yang
mampu menyerap tenaga kerja juga terlihat minim.
Lalu
siapa yang harus bertanggung jawab terhadap lapangan kerja baru? Pemerintah,
pelaku bisnis atau siapa? Yang jelas setiap individu di jaman milenia ini harus
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Intinya setiap orang harus mampu menjadi
wirausaha. Setiap orang baik bekerja untuk orang lain atau untuk diri sendiri,
harus bersifat wirausaha.
Sebagai
seorang wirausaha, harus terus belajar mengambil inisiatif, inovatif, berani,
dan kreatif. Kita harus mampu menampilkan, mempromosikan ide-ide berlian kita
ke pasar. Pada kondisi seperti ini, kita harus siap menghadapi kesulitan dan
menunda kepuasan dalam hidup.
Kewirausahaan banyak diajarkan, di Indonesia, termasuk di Amerika serikat. Ini
jawaban dari ketidaktersediaan lapangan kerja baru, untuk memenuhi lonjakan jumlah
penduduk.
Setiap
orang dilahirkan sebagai wirausaha. Semua memiliki sifat keberanian, kreativitas
dan inisiatif, yang dibawah sejak lahir. Ini bisa kita analogikan contoh seorang
anak untuk mampu berjalan, tidak perlu mengikuti training berjalan, tetapi dia
berlatih berdiri lalu jatuh, berdiri lagi jatuh lagi akhirnya dia tegak
berdiri. Setelah berdiri dia mencoba melangkahkan kakinya, terhuyung-huyung
jatuh lagi. Dia bangkit lagi, lalu mampu berjalan dengan keseimbangannya.
Setelah itu baru dia bisa lari. Jika dia tersandung, dia bangkit sendiri.
Begitu
juga soal dia memulai bicara, tidak perlu kursus bicara. Dia mengocek, tertawa,
mencoba lagi, sampai akhirnya dia bisa mengucapkan satu kata, merangkai kata
lalu bicara. Memahami arti perkataan yang diucapkan orang lain dan mampu
mengimbangi pembicaraan. Dia bereksperimen dengan benda disekitarnya, dia
menyentuh, tersulut api, dan berani mengambil risiko.
Pembelajaran
dan proses itulah sebagai gambaran wirausaha.
Setiap hal yang dilakukan itu merupakan contoh kewirausahaan. Namun,
kelebihan seperti itu, seakan hilang manakala memasuki institusi sekolah. Lalu
bagaimana anda menjawab kenapa itu bisa terjadi?
Apakah
ada institusi dimana anda bisa mempelajari cara menjalankan bisnis anda
sendiri. Yang
muncul kursus bisnis yang ditawarkan universitas, padahal itu tidak mengajarkan
bagaimana anda menjalankan bisnis sendiri, namun mengajari anda bagaimana
menjalankan bisnis orang lain. Begitu pula kursus akuntansi, pajak, yang anda
hitung adalah uang orang lain.
Saat
ini kita tidak perlu berbicara tentang kelebihan teknologi, namun lebih penting
membicarakan kelebihan wirausaha. Kita memerlukan wirausahawan untuk
menciptakan perusahaan besar dengan teknologi yang baru kita temukan. Orang-orang
mampu membuat perusahaan besar dengan menggunakan teknologi inilah yang akan
dapat mengatasi tugas menciptakan pekerjaan untuk orang banyak.
Jika
kita melihat tren 1000 tahun terakhir, tahun 1000 kekuasaan berada di tangan
kaum rokaniawan, yang secara kebetulan adalah beberapa orang yang mampu membaca
dan menulis. Tren tahun1455 penemuan mesin cetak yang memungkinkan pengetahuan
lebih bisa disebarkan kepada lebih banyak orang. Dengan begitu kekuasaan
bergeser perlahan dari agama ke politik.
Tren
tahun 1555 polisi mulai berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaan itu,
birokrasi dibuat. Tahun 1970 penemuan microchip memungkinakn informasi lebih
tersebar kepada kelompok orangn yang lebih besar. Kekuasaan bergeser perlahan
dari politik ke ekonomi.
Tahun
2995 ekonomi sekarang begitu penting sehingga menjadi penyebab jatuhnya banyak
pemimpn politik, yang disebabkan kejatuhan ekonomi. Sedangkan 2020 keseimbangan
kekuasana bergeser perlahan dari birokrasi menjadi kewirausahaan. Abad 20 milik
politisi sedangkan abad 21 menjadi milik para pengusaha.
Model
kewirausahaan banyak dicontohnya pemilik bisnis dan orang terkaya di dunia.
Mulai dari Bill Gate (Mikrosoft), Mark Zuckerberg (Facebook), Jak Ma (Alibaba),
dan lainnya. Di Indonesia ada Go-Jek, Bukalapak, tokopedia, akulaku dan
lainnya. Semua dimulai dari wirausaha, lalu memanfaatkan teknologi, merekrut
karyawan, menjadi besar. Mereka menciptakan bisnis dengan melibatkan banyak
orang di dalamnya. Indonesia pun melakukan gerakan nasional 1000 startup
digital untuk mengubah menjadi negara maju dan anak muda menjadi penggeraknya.
Untuk
orang di birokrat, selama 25 tahun, selalu mempertahankan status keamanan dan
standar hidupnya. Namun, untuk individu yang berjiwa wirausaha selalu bersikap
ofensif, mencari cara memperbesar kesempatan, kemampuan, kualitas hidup mereka
yang meningkat.
Seorang
wirausaha sukses sangat memahami apa arti kegagalan. Bagi yang tidak mampu
memahami makna kegagalan jangan mengambil jalan wirausaha. Kegagalan bukan
akhir permainan, jangan ditakuti. Mereka menyadari, keberanian yang dimiliki,
berbuah kegagalan. Wirausaha sukses, prosesnya telah melampau beragai kesulitan
dan risiko yang dihadapi dan mampu melampaui risiko yang terjadi.
Ketika
menghadapi kesulitan, wirausaha selalu mengerahkan sumberdaya yang dimiliki
untuk mengubah kegagalan menjadi kemenangan. Mereka selalu mencoba beberapa
pendekatan untuk memecahakan masalah bisnisnya. Wirausaha selalu berhadapan
dengan eksperimen dan kegagalan, sangking seringnya, proses itu dijalani dengan
enjoy. Setiap kegagalan menjadi pembelajaran untuk mencoba pendekatan baru.
Melalui proses gagal, belajar, mencoba pendekatan baru, menjadi kesehariannya
menuju sukses. Selama ini kegagalan di tengah masyarakat dianggap sesuatu yang
menakutkan, justru kegagalan itu menjadi guru terbaik untuk bangkit,
mengembangkan wirausaha berikutnya. (salam wirausaha, salam solidaritas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar