Utama

Sabtu, 25 Agustus 2018

Kota Depok, Wilayahnya Terbentuk dari Tanah Partikelir dan Pardikan



Wilayah Depok, ternyata terdiri diri dari tanah partikelir dan tanah pardikan. Tanah Partikelir, milik Cornelis Chastelein, tanah yang tidak ada kaitan dengan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Tanah pardikan, yang dimilliki Sersan Majoor St. Martin, Land Tjinere, yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda atas prestasinya menumpas pemberontakan Kapitien Joker, di Batam. 

SUHARTO, SE., MM. 
PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA (PSI)
CALEG DPRD KOTA DEPOK, DAPIL 2 (BEJI, CINERE, LIMO)
Ceritanya bermula pada abad 18, pada tahun 1674, seorang pemuda bernama Cornelis Chastelein, merantau ke Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, Batavia, Cornelis bekerja sebagai Boekhouder bij de kamer van zeventien (pemegang buku) di kantor Dewan Pengurus Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). 
Pada tahun 1682, Cornelis Chastelein menikahi wanita cantik Belanda bernama Chatarina vaan Quaalberg. Karirnya semakin moncer, pangkatnya naik terus, dia menjadi orang kaya raya. Cornelis memiliki Putra bernama Anthony Chastelein. Entah mengapa, ditengah perjalanan, tahun 1692, Cornelis mengundurkan diri dari VOC, karena berselisih paham dengan Gubernur jenderal Hindia Belanda, Willem van Outhorn. 
Setelah tidak bekerja di VOC, dia mulai berwiraswasta. Empat tahun setelah itu, 1696, Cornelis membeli lima persil tanah seluas 1.244 ha di Land Depok dari seorang tuan tanah Tio Tiong Ko (Tionghoa). Persil itu berada di desa Pitara, Kampung Sengon, Kampung Parung Blimbing. Persil yang dimiliki Cornelis ini menambah persil yang berada di Lenteng Agung, Pasar Minggu, hingga Gambir. 
Dengan persil yang dibeli, Cornelis mengusahakan pertanian, peternakan, dan perkebunan. Bermodal persil yang luas, Cornelis mendatangkan banyak Budak (tenaga kerja) yang dibeli dari raja-raja dari Bali, Sulawesi Selatan, Timor, Nusa Tenggara Timur dan wilayah lain di Hindia Belanda. 
Dalam perjalanannya, Cornelis berhasil membangun kerajaan bisnisnya. Pertanian dan perkebunan, serta peternakannya membuahkan hasil. Karet dan hasil perkebunan lainnya diekspor ke ngeri Belanda. Cornelis kerap memanggil  budaknya dengan sebutan Jan Van Bali, Daniel Van Makassar, Alexander Van Makassar dan Lambert van Bali, dan sebagainnya. 
Dan tahun 1715, Cornelis memerdekankan budaknya dengan membaptis kristiani ke dalam 12 Marga (Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh). Ini merupakan cita -cita Cornelis mengembangbiakan penduduk asli beragama Nasrani, yang bisa hidup di tanah miliknya. Tanah milik Cornelis itu berubah menjadi pusat pengembangan agama Kristen di Depok. 
Tak lama Cornelis Chastelein meninggal, tugas membimbing umat dilanjutkan puteranya, Anthony Chastelein. Sesuai surat wasiat sang ayah, Anthony mendaftarkan tanah milik ayahnya di Depok, dengan mengatasnamakan mantan budak sesuai yang tertulis di surat wasiat. Namun, belum selesai proses itu, Anthony, Februari 1715 meninggal dunia. 
Sepeninggal Anthony, Anna Chastelein de Haan, janda Anthony, menikah dengan Johan Francois de Witte van Schoten, seorang anggota Raad van Justice, 1717. Sebagai ahli hukum, Johan Francois menafsirkan para mantan budak Cornelis Chastelein beserta keturunannya, hanya mempunyai hak menggunakan tanah secara bebas untuk selamanya.  Akhirnya, surat kemepilikan tanah Depok tercatat atas naman Johan Francois de Witte van Schoten.
Perkembangan selanjutnya, hak guna atas tanah Depok berlaku hingga 1850, dan Raad van Indie mengumumkan secara resmi Tanah Depok atas nama Mantan Budak Cornelis Chastelein. 
Tahun 1871, Raad van Administratie membentuk badan pengurus yang dikenal dengan Het Gemeente Bestuur van  Particuliere Land Depok (De Banier, 1914). Pemerintahan Depok terbentuk yang dipimpin presiden. Presiden ini dipilih setiap tiga tahun sekali, dari kelompok komunitas mantan budak. Yang dikenal dengan sebutan Belanda Depok. Presiden ini bukan tuan tanah tetapi coordinator pengurus (bestuur) dari Gemeente. 
Tanah Partikelir yang dimiliki Cornelis Chastelein mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pemerintahan Batavia juga setuju, tanah yang dimilliki Cornelis itu untuk dikelola secara otonom dengan menyelenggarakan pemerintahan sipil secara khusus (gemeente bestuur)
Meski pada masa Cornelis, belum sempat dibentuk, Gemeente bestuur baru bisa diusahakan tahun 1872 oleh pewaris Cornelis Chastelein, para pekerjanya yang telah dimerdekakan guna membentuk tatanan awal pemerintahan sipil di Depok dalam organisasi bercorak republik. Gedung Gemeente Bestuur (sekarang rumah sakit Harapan Depok) sebagai pusat pemerintahan kotapraja, yang berada Jalan Pemuda. 
Mantan budak dan keluarganya tumbuh menjadi komunitas di Depok dengan identitas memiliki tanah dan beragama Kristen. Ini membedakan dengan warga sekitar tempat tinggal mereka, keberadaannya secara yuridis formal, pemilik tanah, meskipun dalam hal ini mereka menguasai dan mengaturnya secara kolektif.
Meski mendapat pengakuan, tanah partikelir dan berhak membuat gemeente, warga land Depok juga tidak mendapat keistimwaan dari pemerintah. Pemerintah mengukur kontribusi warga untuk membangun jalan, jembatan, dan mengembangkan lahan pertanian. Prinsip itu yang dipegang untuk memaksimalkan pemerintahan kala itu. 
Tidak ada yang istimewa, ketenaran Depok di mata pemerintahan Belanda, hanya sekelompok warga yang memegang teguh dan melestarikan wasiat Cornelis Chastelein. Ketenaran land Depok memuncak manakala Land Depok menjadi pusat Zendeling (pengutusan) (1871). Hal itu membuat Belanda tidak bisa berbuat apa-apa. Depok menjadi pusat Zending penyebaran agama Kristen melalui kabar keselamatan yang diberikan Allha kepada seluruh dunia. 
Meski demikian, antara pemerintah Hindia Belanda dengan Warga Gemeente Depok terjadi selisih pendapat. Saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak untuk land Depok, Warga Gemeente Depok protes keras. Bahwa Land Depok tidak ada kaitannya dengan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, tanah Partikelir.
Persoalan ini mengemuka Pemerintah Hindia Belanda bersikeras dan menganggap warga gemeente Depok sebatas penyewa lahan. Sedangkan warga Gemente berpegang, sejak tahun 1741, land Depok warisan Cornelis Chastelein. Tahun 1933, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak (Staatsblad 352), dan bertindak tegas terhadap warga yang tidak memenuhi kewajiban membayar pajak bakan dikenakan denda.
Begitu penyewa land depok tidak membayar pajak, kasusnya di bawa ke pengadilan dan memutuskan warga penyewa itu harus membayar pajak. Selain membayar pajak, penyewa itu juga dibebankan biaya persidangan. Ini merupakan shok terapi bagi warga Gemente Depok agar tidak main-main dengan kewajiban pajak.
Mulai saat itu pemerintah bersama peminpin local menggerakan warganya berpartisipasi membayar pajak, membangun jalan, jembatan, irigasi. Dari situ pemanfaatan semua fasiliats itu dioptimalkan untuk semua. 
Sensus penduduk, Tahun 1930, di Depok terdapat  dua distrik Timur dan Barat sungai Tjiliwung. Timur berada di Distrik Tjibinong yang terdiri dari Tapos, Tjilangkap, dan Tjilodong dan kemandoran Tjimanggis dan Tjilodong. 
Sedangkan disisi barat berada di distrik Paroeng terdapat 29 desa Tjinangka, Tjinere, Tjipajoeng, Tjitajam, Tjoeroeg, Bedji, Bodjonggede, Grogol, Kalisoeren, Kedoengringin, Kemiri Moeka, Koekoesan, Limo, Mampang Ilir, Mampang Oedik, Nangerang, Paboearan, Pangkalan Djati, Paroengblingbing, Pasir Poetih, Pitara, Ratoe Djaja, Rawadenok, Saroea, Sasak Pandjang, Sawangan, Tadjoerhalang dan Tanahbaroe. Gemeente Depok bagian dari desa Paroengblimbing.
Catatan, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1950, status tanah partikelir di bubarkan oleh pemerintah Indonesia, termasuk gemeente Depok. Pemerintah Indonesia menyerahkan sebagian tanah partikelir yang dianggap sebagai Kommunal bezit dan Eigendom, atau milik bersama, masyarakat Depok. Termasuk di dalamnya tanah yang dimiliki secara pribadi ke-12 marga warga Depok.  

Tanah Pardikan
            Sedangkan tanah pardikan adalah Land Tjinere yang kemudian menjadi bagian dari Depok. Land Tjinere adalah tanah hadiah yang diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada Sersan Majoor St. Martin, atas prestasinya menumpas pemberontakan Kapitein Jonker di Batam, 1689.  Prestasinya St. Martin mendapat hadiah Land Tjinere yang melingkupi Pangkalan Djati, Tjinere, Tanah Baroe, Krokot dan Maroejoeng. St. Martin juga memiliki Land Tjitajam. Land Tjinere perannya semakin diperhitungan karena industry perkebunannya. Lima Tahun, kemudian, St. Martin meninggal dunia. 
            Entah bagaimana ceriatanya, land Tjinere berpindah ke Raden Adipati Aria Soeria di Redja, mantan Regent van Chirebon dan sudah lama tinggal di Land Tjinere.  Tahun 1886 Raden Adipati memiliki hutang kepada Said Alie bin Hassan Alatas. Untuk menutupi hutang, land Tjinere di sita dan di lelang. Tahun 1899, oleh J.Schoutendorp, Land Tjinere dijual. 
Sebelumnya, Cinere terdiri dari beberapa dusun yang dihuni warga Betawi, terlihat masih banyak hutan karet, lahan persawahan, dan rawa-rawa. Namun kini, Cinere lebih dikenal di banding depok. Seiring perjalanan waktu, 1979 wilayah cinere banyak dibeli pengembang dan dijadikan perumahan, menengah keatas. Membuat daerah itu banyak dihuni dan berkembang menjadi kota mandiri. 
            Depok tahun 1981 sudah ditetapkan sebagai Kota Administratif (Kotif) Depok, yang terdiri dari kecamatan Pancoranmas, Beji dan Sukmajaya. Tahun 1999 Depok meningkat menjadi Kota Depok, dengan memasukan Kecamatan Cimanggis, Sawangan, dan Limo.  
Meski demikian, nama Cinere lebih dikenal dibanding Limo. Tahun 2007, Cinere terbentuk menjadi kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Limo. Kecamatan Cinere membawahi empat kelurahan Cinere, Gandul, Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati Baru.
Ini kisah cerita, wilayah Depok berasal dari Tanah Partikelir dan Tana Pardikan. (Salam Solidaritas/Berbagai Sumber)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar